Selamat Datang di Website Resmi Gerakan Rakyat Anti Pemiskinan Jakarta

Selasa, 08 Februari 2011

Survey CRC di DKI Jakarta


Otonomi Daerah yang telah berjalan di Indonesia akan lebih maksimal ketika peran masyarakat menjadi kunci terpenting dalam mengembangkan demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Partisipasi aktif, kebebasan dan keterbukaan berpendapat, serta akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan

adalah sarana utama dalam membangun demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Kemampuan masyarakat atau organisasi masyarakat untuk mengakses informasi, berpartisipasi aktif proses perencanaan dan implementasi pembangunan, serta berperan dalam menjaga akuntabilitas proses pemerintahan adalah sebuah faktor fundamental demi tegaknya demokrasi. Sedikitnya untuk dua alasan: pertama, menjamin bahwa warga bisa berperan, berkontribusi dan memperoleh layanan pembangunan yang baik; kedua, partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dapat membangun checks-and-balance, karena janji-janji pejabat dan anggota DPRD terhadap konstituennya dapat dikontrol melalui saluran-saluran organisasi masyarakat.

Upaya-upaya menagih janji-janji tersebut, bisa dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah survei CRC yang merupakan sebuah instrumen untuk mengukur akuntabilitas penyelengaraan pelayanan publik pemeritah dengan menggalang aksi kolektif masyarakat memberikan penilaian terhadap pelayanan publik yang diterimanya untuk mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik dan berkualitas. Bagi pemerintah atau penyedia jasa lainnya CRC dapat digunakan sebagai alat diagnosa awal untuk mengidentifikasi titik-titik permasalahan dalam pelayanan yang diselenggarakan.

Perkembangan CRC di Indonesia ditandai dengan banyaknya LSM/NGO, pemerintah dan kelompok lainnya melakukan penilaian dengan menggunakan metode CRC, tentunya dengan berbagai modifikasi dalam pelaksanaannya, belajar dari studi di Bangalore, buku ini mencoba sedikit berbagi mengenai catatan perjalanan CRC di kota tersebut serta beberapa aktivitas CRC dikota lainnya di Indonesia. Buku ini pun memaparkan beberapa rekam pelaksanaan dan hasil CRC di DKI Jakarta.

Buku dapat anda download di:

http://www.ziddu.com/download/13719363/ianWargaSebagaiWujudPartispasiDalamPelayananPublik.pdf.html


Selengkapnya...

Rabu, 02 Desember 2009

RAPBD 2010 DKI Jakarta; 47,6 Milyar Duit Rakyat Untuk Menggusur Rakyat


Jakarta, Budget Info -- Tahun 2010, adalah tahun yang akan menjadi momok bagi rakyat kecil di Jakarta. Pasalnya, 18 SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) pada RAPBD DKI Jakarta 2010 mengalokasikan Rp. 47,6 Milyar untuk menggusur rakyat kecil. Pemerintah DKI Jakarta akan melakukan program “pengusuran” rakyat kecil dengan bahasa yang berbeda-beda, misalnya Penertiban, Pengawasan, pengendalian, penjagaan, pemantauan dan terakhir mengusir masyarakat dari Jakarta dengan program operasi Yustisi.

Dibandingkan tahun 2009, alokasi anggaran penggusuran ini meningkat tajam sebesar 55%di tahun 2010. Alokasi pengusuran rakyat miskin pada APBD 2009 dialokasikan sekitar Rp.21,4 miliar melalui 8 SKPD. Artinya, dari tahun ke tahun, Pemprov DKI Jakarta, semakin bersemangat untuk mengenyahkan rakyat kecil di Ibu Kota ini.

Adapun alokasi anggaran pada setiap SKPD untuk penggusuran Rakyat miskin sebagai berikut:


Akokasi anggaran untuk melakukan operasi yustisi sebesar Rp. 1 miliar, dan keberadaan alokasi anggarannya ada pada SKPD Dinas kependudukan dan catatan Sipil, Dinas kependudukan dan catatan Sipil Jakarta pusat, Dinas kependudukan dan catatan Sipil Jaktim, Dinas kependudukan dan catatan Sipil Jakut, dan Dinas kependudukan dan catatan Sipil Jakbar.

Kemudian, alokasi anggaran pada Satpol PP sebesar Rp. 11,5 miliar, dan 9,7 miliar adalah alokasi anggaran untuk membeli baju dinas satpol PP, dan 2 miliar adalah operasional lapangan alokasi anggaran untuk pengusuran rakyat kecil.

Sedangkan alokasi anggaran pengusuran rakyat kecil yang lain ada pada Satpol PP Jaksel, Jaktim, Jakpus, Jakut, dan Jakbar. Adapun alokasi anggaran untuk Satpol PP Jaksel adalah sebesar Rp.1Miliar; Satpol PP Jaktim sebesar Rp. 4,4 milar; Satpol PP Jakpus sebesar Rp. 1,9 miliar; Satpol PP Jakut sebesar Rp. 475 juta, dan Satpol PP Jakbar sebesar Rp. 1,2 miliar.

Alokasi anggaran pengusuran rakyat kecil juga ada pada SKPD, antara lain, Kota adminstrasi Jakut sebesar Rp. 67 juta; kota adminstrasi Jaksel sebesar Rp. 2 miliar; Dinas Pekerjaa Umum sebesar Rp. 20 miliar; Dinas Sosial sebesar Rp. 2,3 miliar; Dinas sosial Jakut sebesar Rp. 200 juta; Dinas Sosial Barat sebesar Rp. 150 juta, dan Dinas Sosial Jaksel sebesar 800 juta. Dan alokasi anggaran pengusuran untuk rakyat miskin pada 18 SKPD ini, tidak ada satupun program dan alokasi anggaran untuk pasca pengusuran, sehingga kemungkinan rakyat kecil mengalami trauma, dan meningkatnya rasa kebencian terhadap aparat satpol PP, dan pemerintah DKI Jakarta pada umumnya.

Berangkat dari persoalan di atas Seknas FITRA memberikan pernyataan sebagai berikut:
Meminta DPRD DKI Jakarta, untuk segera melakukan konsultasi publik RAPBD DKI 2010 untuk mendapatkan masukan dari warga Jakarta serta untuk menghindari terjadinya pemborosan anggaran. DPRD DKI Jakarta yang baru menjabat tampaknya tidak mampu menandingi eksekutif dalam membahas anggaran.

Meminta DPRD DKI Jakarta dan Pemprov, untuk menghapuskan alokasi anggaran yang bersifat represif kepada rakyat miskin dan dialokasikan untuk program-program pemberdayaan orang miskin.
Selengkapnya...

Selasa, 01 Desember 2009

Thumbs Down for Poor Family Card System


More than 25 percent of Jakarta’s poor are unhappy with the way the government’s Poor Family Card, or Gakin, scheme, is being managed, a survey revealed on Friday.

The survey, conducted by Partnership, a nongovernmental organization, showed that 29 percent of 116 respondents had faced extortion when applying for the cards, which give access to low-cost or free healthcare.

Under the scheme, residents wishing to take advantage of the government’s free or low-cost healthcare services had to secure a letter from the head of their community stating that they were impoverished.


Residents then had to present this letter, known as an SKTM, to the district office in order to receive the card. Some residents reported that they have been asked to pay varying “administrative fees.”

Rohidin Sudarno, head of the survey team, said that “25.3 percent of the survey’s respondents complained of fees of between Rp 5,000 (42 cents) and Rp 10,000 per letter being levied illegally per letter by local community heads.”

The Partnership survey also revealed that 21.7 percent of respondents said they have received harsh treatment from medical doctors and 44.2 percent complained of negligence by paramedics.

M. Sobari, the executive director of Partnership, said that most hospitals also required a down payment from Gakin card holders before providing them with medical treatment.
Selengkapnya...

Jumat, 12 Desember 2008

Sektor Pendidikan Belum Prowarga

**Laporan Akhir Tahun KOMPAS **

Selama setahun terakhir ini sulit rasanya menemukan perkembangan positif dalam sektor pendidikan di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Masih banyak fasilitas pendidikan yang tidak memadai dan biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk bisa mendapatkan pendidikan layak kerap tidak rasional.

Keberpihakan terhadap sektor ini dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baru sebatas mata anggaran. Masih segar dalam ingatan, sejumlah orangtua murid sekolah dasar negeri (SDN) dan sekolah menengah pertama negeri (SMPN) mengeluhkan berbagai pungutan sebelum dan setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) ditetapkan komite sekolah (komsek) pada bulan Agustus-September.

Beragam kebutuhan dijadikan alasan untuk mengenakan pungutan. Mulai dari pembelian seragam, buku, sumbangan perbaikan gedung, penambahan sarana, fasilitas sekolah, studi banding guru, hingga ke pos yang tak ada kaitan dengan pendidikan. Berbagai pungutan ini kerap terjadi di SDN dan SMPN berstatus percontohan—belakangan berubah menjadi sekolah standar nasional (SSN) dan sekolah standar internasional (SSI).

Pungutan berdalih dana sukarela orangtua sebagai donatur tetap sekolah untuk melengkapi fasilitas pendukung pembelajaran anak di sekolah. Besaran pungutan uang pembangunan mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 10,5 juta per siswa baru. Pungutan lainnya ditentukan tiap komsek dan pimpinan sekolah.

Sesungguhnya, pungutan tak resmi atas kesepakatan pimpinan sekolah dan komsek itu memberatkan orangtua murid. Keberadaan komsek ini juga terungkap dalam survei Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang perkembangan layanan SDN dan madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) se-DKI Jakarta tahun 2004-2007.

Hasil survei yang melibatkan responden orangtua murid menunjukkan sebagian besar orangtua murid tidak tahu mengenai komsek. Sebanyak 67,9 persen mengaku tidak dilibatkan sama sekali dalam pemilihan komsek. Sisanya, sebanyak 32,1 persen orangtua menyatakan terlibat dalam pembentukan komsek.

Komsek ternyata diisi orangtua yang ditunjuk langsung oleh kepala sekolah dan bukan perwakilan orangtua siswa baru. Wajar jika kepala sekolah bisa mengatur komsek dalam menyusun APBS. ”Peluang korupsi sekolah cenderung meningkat seiring dengan semakin rendahnya tingkat partisipasi orangtua dalam menyusun APBS,” kata peneliti ICW, Febri Hendri.

Namun, pimpinan sekolah dan komsek memiliki pandangan dan argumentasi soal itu. Mereka beralasan, pungutan dilakukan karena anggaran pendidikan dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat sangat kecil. Anggaran itu tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan.

Namun, apa pun alasannya tetap saja orangtua murid keberatan dan mempertanyakan dasar alasan pungutan tersebut. Gugatan ini muncul karena tidak ada satu pun aturan yang membolehkan memungut.

Larangan itu ditegaskan dalam Peraturan Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta No 1 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) untuk SDN, SDN luar biasa (LB), SMPN, SMPN LB, dan sekolah negeri lainnya setara SDN dan SMPN se-DKI. Peraturan itu hingga kini tetap berlaku.

Jelas sudah, berbagai pungutan dengan dasar alasan apa pun tidak dibenarkan. Bukankah anggaran pendidikan dalam APBD DKI tersedia dalam angka yang cukup besar? Bahkan anggaran untuk pendidikan itu bisa dikatakan lebih besar daripada anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (lihat grafik).

Dalam APBD DKI 2008, dana BOP yang dikucurkan mencapai Rp 821,5 miliar, terdiri dari SDN sebesar Rp 493,8 miliar untuk 684.679 siswa di 2.270 SD. Setiap siswa memperoleh alokasi Rp 60.000 per bulan. BOP SMPN mencapai Rp 327,7 miliar untuk 248.740 siswa di 339 SMP. Setiap siswa mendapat alokasi anggaran Rp 110.000 per bulan. Sementara bantuan operasional sekolah (BOS) di SDN sebesar Rp 21.000 per bulan per anak dan SMPN Rp 29.500 per bulan.

Fasilitas sekolah marginal
Selain pungutan, wajah pendidikan juga tercoreng dengan buruknya fasilitas dan layanan. Survei ICW menyatakan, ruangan perpustakaan, warung sekolah, buku pelajaran pokok yang dipinjamkan secara gratis minim tersedia. Kalaupun ada, buku pelajaran gratis yang dipinjamkan dalam kondisi buruk.

Survei Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), Kemitraan, dan Gerakan Rakyat Anti Pemiskinan (Garap), November lalu menunjukkan, sebagian besar atau 60,3 persen sarana dan prasarana pendidikan di SDN dan 72,9 persen di SMPN tidak lengkap dan dalam kondisi rusak.

Memprihatinkannya lagi, sarana gedung yang tersedia seperti gedung SDN 03 dan SDN 12, Sumur Batu Utara, Kemayoran, Jakarta Pusat, tidak bisa digunakan. Pada November 2007, sekitar 500 siswa kedua SDN itu terpaksa menumpang belajar di SDN lainnya di Sumur Batu karena gedung sekolah mereka nyaris roboh.

Gedung itu sampai saat ini belum diperbaiki karena dana yang terbatas. Dengan demikian, kedua sekolah itu tidak masuk dalam program rehabilitasi tahun 2008. Pemprov DKI Jakarta hanya mengalokasikan dana perbaikan sekolah dalam APBD DKI Jakarta sebanyak Rp 215 miliar. Dana sebesar itu hanya cukup untuk perbaikan total 21 gedung sekolah yang rusak berat, dari 400 gedung sekolah yang rusak.

Para orangtua murid di kedua SD di Sumur Batu itu kecewa. mereka lalu mengumpulkan donatur dan sepakat membangun sendiri. Niat baik para orangtua murid ini mengusik para pejabat teknis di Pemprov DKI sehingga Pemprov DKI memprioritaskan rehabilitasi pembangun gedung kedua sekolah itu dalam APDB tahun 2009.

Memperbaiki
Masalah pendidikan di Jakarta begitu beragamnya. Pemprov DKI Jakarta juga berusaha untuk memperbaikinya. Salah satunya adalah menindak para pimpinan sekolah yang melakukan pungutan liar. Namun, tindakan itu diragukan mampu memberikan efek jera karena sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku terlalu ringan.

Namun lepas dari semua itu, upaya yang dilakukan Pemprov DKI untuk membenahi pendidikan jauh dari memadai. Apakah itu dalam hal pungutan, perbaikan fasilitas sekolah, maupun mutu pendidikan secara keseluruhan. Padahal dalam kampanye yang mengantarkan Fauzi Bowo dan Prijanto ke kursi Gubernur dan Wakil Gubernur karena penegasannya akan memperbaiki dunia pendidikan di Jakarta.

Kini waktu sudah berlalu. Fauzi dan Prijanto sudah 1 tahun 62 hari, tetapi wajah pendidikan tetap penuh dengan karut-marut persoalan. Pungutan tetap marak, kondisi gedung sekolah banyak yang masih memprihatinkan, fasilitas perpustakaan minim buku, dan pengembangan kompetensi guru masih jauh dari harapan. Kini warga menagih lagi janji itu di tahun 2009. Benarkah Fauzi Bowo dan Prijanto merealisasikan pendidikan sebagai sasaran utama pembangunan Jakarta. [Laporam: Pingkan Elita Dundu]

Sumber : Kompas, Selasa, 9 Desember 2008 03:00 WIB
Selengkapnya...

Kamis, 27 November 2008

Poor approve of capital's health, education services

Picture : Live Talkshow on JakTV (26/11/2008) to discuss about CRC survey results

People living in poverty in Jakarta say the city administration's health and education services are good, a survey conducted by several NGOs reveals.

The survey, carried out on 400 low-income bracket residents by the Partnership for Governance Reform, the Coalition of Jakarta Non-Poverty Movement and the Center of Regional Research and Information, shows that 90.25 percent of the surveyed responded positively about the two sectors.

The respondents were low-income bracket residents in possession of relief letters (SKTM) and poor person cards (GAKIN) of 42 districts in five municipalities throughout the city. They were asked to rate the quality of public health centers and hospitals and elementary and junior high schools, specifically the quality of facilities, administration services, the performances of teachers and health officers, and to list complaints.

The survey found that 93.2 percent of the respondents said public health centers did not have cumbersome bureaucracy, while 65.2 percent praised hospitals' administration services. Some 92.2 and 91.5 percent of respondents praised public health centers' offices and facilities, respectively, while 78.3 and 90.6 percent praised those of hospitals.

The results surprised NGOs, experts and the surveyors. "We were very surprised when we first found out about the results, but these are the facts," said Agung Wasono of the Partnership for Governance Reform.

"But, no matter what the results, the administration should improve its services in the health and education sectors. "Although 'only' 30 percent of respondents were dissatisfied with the hospital's administration services, for instance, the number still matters," he said.

Abdul Malik, an education expert, said the survey was not conclusive. "It did not touch on substantial aspects of education and health services, like have pregnant women received quality services? It should have revealed more specific information," Abdul said. "The results are still pretty rough. I don't even think it will be useful for the administration in (its efforts to) improve education and health quality. "You should go deeper so that you can help the administration solve its problems in the two sectors," he said.

Coordinator of the Jakarta Residents Forums, Azas Tigor Nainggolan, concurred. "If (the case) were a computer, the survey would have covered only the hardware, not the software," Tigor said. Many residents have found it difficult to apply for SKTM letters and Gakin IDs.

In 2005, the administration distributed Gakin cards to residents eligible for low-cost or free health care and food. Low-income bracket residents can also apply for SKTM letters, which would make them eligible for discounted or free medical care. SKTM holders pay only 50 percent of medical fees, while Gakin holders pay nothing. SKTM applicants must submit notification letters from their neighborhood's unit chief and from subdistrict officials as well as a letter from their local community health care center underwriting their financial status.

The survey showed respondents felt high school facilities and teachers were superior to those at elementary schools.

Triwik Kurniasari , The Jakarta Post , Jakarta Wed, 11/26/2008 10:43 AM Headlines

Sumber : The Jakarta Post
Related News : Republika Online, Kompas Cetak, Berita Jakarta, Suara Merdeka

Selengkapnya...

Sabtu, 22 November 2008

RAPBD DKI Jakarta 2009 Tidak Pro Rakyat Miskin


Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta untuk 2009 dinilai tidak pro rakyat miskin. Dana yang dihimpun dari masyarakat ibu kota tersebut cenderung mengalami pemborosan.

"Alokasi anggaran 2009 DKI Jakarta bukan untuk rakyat miskin, malah cenderung boros dan mengada-ada," kata Ketua Divisi Advokasi Anggaran Daerah Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Arif Rachman dalam diskusi publik bertema 'Sudah Pro Kaum Miskinkah RAPBD DKI Jakarta 2009?" di Hotel Grand Menteng, Jl Matraman Raya, Jakarta, Jumat (21/11/2008).

Pandangan ini langsung dibenarkan pihak legislatif yang juga hadir dalam kesempatan yang sama, Tatang Rusfandi. Anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi FPDIP ini tidak membantah jika alokasi anggaran RAPBD DKI Jakarta belum pro rakyat miskin. Tatang melihat alokasi pro rakyat harus dilakukan secara bertahap.

"Itu (anggaran) perlu ditingkatkan saya sepakat, namun secara bertahap," ujar Tatang.

Dalam draf APBD DKI Jakarta 2009 disebutkan, alokasi anggaran untuk kepentingan orang miskin hanya berkisar Rp 387 miliar atau sekitar Rp 1,7 persen. Anggaran ini terkonsentrasi melalui Jaminan Pelayanan Kesehatan untuk Keluarga Miskin (JPK Gakin).

Persentase ini masih dinilai belum adil jika melihat penerimaan asli daerah yang berasal dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang berjumlah lebih dari Rp 400 miliar. Yakni, BLUD RSD Rp 334 miliar, BLUD ambulans Rp 4 miliar, dan BLUD Puskesmas Rp 77,460 mìliar. "Ini dirasa tidak sebanding," tandas Arif.

Sementara, dalam mata anggaran lain, FITRA memberikan catatan kritis pada RAPBD DKI Jakarta 2009 karena hanya bersifat boros. Sebagai contoh, biaya laptop Rp 35 juta/unit, laundry gubernur/wagub Rp 70 juta, pengiriman guru SMU/SMK untuk training di Selandia Baru Rp 4,5 milyar. Ada pula yang tidak relevan seperti outbond pegawai Rp 475 juta, pengadaan pakaian korps musik Rp 76 juta.(ape/anw)

Sumber : DetikNews

Berita Terkait Press Conference bisa dibaca di :
1. Kompas TV : GARAP: RAPBD Bukan Untuk Rakyat Miskin

2. Sinar Harapan : Warga Gugat RAPBD Jakarta Tahun 2009

Selengkapnya...

 
© 2008 free template by kangrohman modification by agungwasono