Selamat Datang di Website Resmi Gerakan Rakyat Anti Pemiskinan Jakarta

Jumat, 12 Desember 2008

Sektor Pendidikan Belum Prowarga

**Laporan Akhir Tahun KOMPAS **

Selama setahun terakhir ini sulit rasanya menemukan perkembangan positif dalam sektor pendidikan di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Masih banyak fasilitas pendidikan yang tidak memadai dan biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk bisa mendapatkan pendidikan layak kerap tidak rasional.

Keberpihakan terhadap sektor ini dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baru sebatas mata anggaran. Masih segar dalam ingatan, sejumlah orangtua murid sekolah dasar negeri (SDN) dan sekolah menengah pertama negeri (SMPN) mengeluhkan berbagai pungutan sebelum dan setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) ditetapkan komite sekolah (komsek) pada bulan Agustus-September.

Beragam kebutuhan dijadikan alasan untuk mengenakan pungutan. Mulai dari pembelian seragam, buku, sumbangan perbaikan gedung, penambahan sarana, fasilitas sekolah, studi banding guru, hingga ke pos yang tak ada kaitan dengan pendidikan. Berbagai pungutan ini kerap terjadi di SDN dan SMPN berstatus percontohan—belakangan berubah menjadi sekolah standar nasional (SSN) dan sekolah standar internasional (SSI).

Pungutan berdalih dana sukarela orangtua sebagai donatur tetap sekolah untuk melengkapi fasilitas pendukung pembelajaran anak di sekolah. Besaran pungutan uang pembangunan mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 10,5 juta per siswa baru. Pungutan lainnya ditentukan tiap komsek dan pimpinan sekolah.

Sesungguhnya, pungutan tak resmi atas kesepakatan pimpinan sekolah dan komsek itu memberatkan orangtua murid. Keberadaan komsek ini juga terungkap dalam survei Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang perkembangan layanan SDN dan madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) se-DKI Jakarta tahun 2004-2007.

Hasil survei yang melibatkan responden orangtua murid menunjukkan sebagian besar orangtua murid tidak tahu mengenai komsek. Sebanyak 67,9 persen mengaku tidak dilibatkan sama sekali dalam pemilihan komsek. Sisanya, sebanyak 32,1 persen orangtua menyatakan terlibat dalam pembentukan komsek.

Komsek ternyata diisi orangtua yang ditunjuk langsung oleh kepala sekolah dan bukan perwakilan orangtua siswa baru. Wajar jika kepala sekolah bisa mengatur komsek dalam menyusun APBS. ”Peluang korupsi sekolah cenderung meningkat seiring dengan semakin rendahnya tingkat partisipasi orangtua dalam menyusun APBS,” kata peneliti ICW, Febri Hendri.

Namun, pimpinan sekolah dan komsek memiliki pandangan dan argumentasi soal itu. Mereka beralasan, pungutan dilakukan karena anggaran pendidikan dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat sangat kecil. Anggaran itu tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan.

Namun, apa pun alasannya tetap saja orangtua murid keberatan dan mempertanyakan dasar alasan pungutan tersebut. Gugatan ini muncul karena tidak ada satu pun aturan yang membolehkan memungut.

Larangan itu ditegaskan dalam Peraturan Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta No 1 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) untuk SDN, SDN luar biasa (LB), SMPN, SMPN LB, dan sekolah negeri lainnya setara SDN dan SMPN se-DKI. Peraturan itu hingga kini tetap berlaku.

Jelas sudah, berbagai pungutan dengan dasar alasan apa pun tidak dibenarkan. Bukankah anggaran pendidikan dalam APBD DKI tersedia dalam angka yang cukup besar? Bahkan anggaran untuk pendidikan itu bisa dikatakan lebih besar daripada anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (lihat grafik).

Dalam APBD DKI 2008, dana BOP yang dikucurkan mencapai Rp 821,5 miliar, terdiri dari SDN sebesar Rp 493,8 miliar untuk 684.679 siswa di 2.270 SD. Setiap siswa memperoleh alokasi Rp 60.000 per bulan. BOP SMPN mencapai Rp 327,7 miliar untuk 248.740 siswa di 339 SMP. Setiap siswa mendapat alokasi anggaran Rp 110.000 per bulan. Sementara bantuan operasional sekolah (BOS) di SDN sebesar Rp 21.000 per bulan per anak dan SMPN Rp 29.500 per bulan.

Fasilitas sekolah marginal
Selain pungutan, wajah pendidikan juga tercoreng dengan buruknya fasilitas dan layanan. Survei ICW menyatakan, ruangan perpustakaan, warung sekolah, buku pelajaran pokok yang dipinjamkan secara gratis minim tersedia. Kalaupun ada, buku pelajaran gratis yang dipinjamkan dalam kondisi buruk.

Survei Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), Kemitraan, dan Gerakan Rakyat Anti Pemiskinan (Garap), November lalu menunjukkan, sebagian besar atau 60,3 persen sarana dan prasarana pendidikan di SDN dan 72,9 persen di SMPN tidak lengkap dan dalam kondisi rusak.

Memprihatinkannya lagi, sarana gedung yang tersedia seperti gedung SDN 03 dan SDN 12, Sumur Batu Utara, Kemayoran, Jakarta Pusat, tidak bisa digunakan. Pada November 2007, sekitar 500 siswa kedua SDN itu terpaksa menumpang belajar di SDN lainnya di Sumur Batu karena gedung sekolah mereka nyaris roboh.

Gedung itu sampai saat ini belum diperbaiki karena dana yang terbatas. Dengan demikian, kedua sekolah itu tidak masuk dalam program rehabilitasi tahun 2008. Pemprov DKI Jakarta hanya mengalokasikan dana perbaikan sekolah dalam APBD DKI Jakarta sebanyak Rp 215 miliar. Dana sebesar itu hanya cukup untuk perbaikan total 21 gedung sekolah yang rusak berat, dari 400 gedung sekolah yang rusak.

Para orangtua murid di kedua SD di Sumur Batu itu kecewa. mereka lalu mengumpulkan donatur dan sepakat membangun sendiri. Niat baik para orangtua murid ini mengusik para pejabat teknis di Pemprov DKI sehingga Pemprov DKI memprioritaskan rehabilitasi pembangun gedung kedua sekolah itu dalam APDB tahun 2009.

Memperbaiki
Masalah pendidikan di Jakarta begitu beragamnya. Pemprov DKI Jakarta juga berusaha untuk memperbaikinya. Salah satunya adalah menindak para pimpinan sekolah yang melakukan pungutan liar. Namun, tindakan itu diragukan mampu memberikan efek jera karena sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku terlalu ringan.

Namun lepas dari semua itu, upaya yang dilakukan Pemprov DKI untuk membenahi pendidikan jauh dari memadai. Apakah itu dalam hal pungutan, perbaikan fasilitas sekolah, maupun mutu pendidikan secara keseluruhan. Padahal dalam kampanye yang mengantarkan Fauzi Bowo dan Prijanto ke kursi Gubernur dan Wakil Gubernur karena penegasannya akan memperbaiki dunia pendidikan di Jakarta.

Kini waktu sudah berlalu. Fauzi dan Prijanto sudah 1 tahun 62 hari, tetapi wajah pendidikan tetap penuh dengan karut-marut persoalan. Pungutan tetap marak, kondisi gedung sekolah banyak yang masih memprihatinkan, fasilitas perpustakaan minim buku, dan pengembangan kompetensi guru masih jauh dari harapan. Kini warga menagih lagi janji itu di tahun 2009. Benarkah Fauzi Bowo dan Prijanto merealisasikan pendidikan sebagai sasaran utama pembangunan Jakarta. [Laporam: Pingkan Elita Dundu]

Sumber : Kompas, Selasa, 9 Desember 2008 03:00 WIB

Tidak ada komentar:

 
© 2008 free template by kangrohman modification by agungwasono