Selamat Datang di Website Resmi Gerakan Rakyat Anti Pemiskinan Jakarta

Rabu, 24 September 2008

Pemerintah Gagal Atasi Kemiskinan

Janji Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menurunkan jumlah rakyat miskin hingga tinggal 18,8 juta tahun 2009, sesuai Perpres 7/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), gagal total. Hal itu mengingat hingga saat ini, jumlah rakyat miskin masih mencapai 36,8 juta jiwa.

"Dalam sisa waktu kurang dari satu tahun anggaran ini, bagaimana mungkin pemerintah bisa merealisasikan janji menurunkan jumlah rakyat miskin dari 36,8 juta menjadi 18 jutaan. Gagal total dan mustahil jumlah rakyat miskin turun, malah meningkat tajam," kata anggota DPR, Sutradara Gintings, di Jakarta, Senin (22/9).


Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu menambahkan, kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menyebabkan jumlah kemiskinan meningkat tajam.

Ketika awal Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) pada 2005, jumlah penduduk miskin mencapai 35,1 juta. Tetapi, akibat kenaikan harga BBM dua kali tahun 2005, (30 persen pada Maret, dan 120 persen pada Oktober), menyebabkan jumlah rakyat miskin meningkat menjadi 39 juta pada 2006.

Menurut Sutradara, angka kemiskinan turun menjadi 37 juta tahun 2007, dan hingga Maret 2008 menjadi 34,8 juta, adalah tidak tepat. Sebab, data itu diperoleh berdasaran survei yang dilakukan kenaikan harga BBM hingga 28 persen pada Mei 2008. Dia memperkirakan, jumlah rakyat miskin mencapai 35,8 juta.

Jumlah itu diperoleh dari perhitungan meningkatnya kemiskinan hingga hampir 4 juta jiwa akibat kenaikan harga BBM 2005 (sampai 120 persen). Bila pada Mei 2008 BBM naik 28 persen (sekitar 25 persen dari kenaikan harga BBM pada 2005), mengakibatkan jumlah rakyat miskin bertambah 1 juta (25 persen dari 4 juta). Bahkan, berdasarkan perhitungan Universitas Gadjah Mada, jumlah rakyat miskin hingga September 2008 mencapai 36,8 juta.

Belanja Meningkat
Hal yang lebih penting, menurut Sutradara, adalah peningkatan belanja negara, yang dalam APBN 2005 mencapai Rp 397 triliun, dan pada tahun anggaran 2008 meningkat dua kali lipat lebih, yakni mencapai Rp 989 triliun. "Kalau belanja yang meningkat dua kali lipat itu, tetapi jumlah rakyat miskin tidak turun, apakah itu namanya perubahan? Jelas kegagalan total," tegasnya.

Dia juga sepakat dengan kritik sejumlah kalangan mengenai standar kemiskinan yang digunakan pemerintah yang jelas tidak realistis. Dari segi pengeluaran, nilai US$ 1 per kapita per hari sudah sangat jauh dari memadai. Itu bisa dilihat dari perbandingan harga barang-barang yang meningkat, seiring dengan laju inflasi.

"Jangankan menggunakan standar Bank Dunia, yakni US$ 2 per kapita per hari, dengan standar BPS saja, kalau pemerintah jujur menunjukkan data kemiskinan pascakenaikan harga BBM, jelas tidak ada penurunan jumlah rakyat miskin. Kalau menggunakan standar Bank Dunia, sudah pasti jumlah orang miskin sangat besar, bisa mencapai 90 juta jiwa," ujarnya.

Terkait hal itu, Sutradara mengkritik mekanisme bantuan langsung tunai (BLT), yang seolah-olah dianggap sebagai pendapatan masyarakat. "Padahal, dana itu dari hanya sementara. Sehingga ketika dihentikan, pasti rakyat penerima BLT tetap miskin," katanya.

Sementara itu, Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim yang dihubungi, Selasa (23/9), mengatakan, pemerintah sebaiknya menjelaskan target pengentasan kemiskinan ke masyarakat. Dengan demikian publik menjadi tahu kendala-kendala yang tengah dihadapi pemerintah dalam program tersebut.

"Sekarang kan terjadi perdebatan seputar program itu. Seharusnya, pemerintah terbuka saja, apakah program pengentasan kemiskinan itu berjalan sesuai target atau sebaliknya. Jangan-jangan pemerintah memang gagal pada program pengentasan kemiskinan," katanya.

Di tempat terpisah, Koordinator Konsorsium Kemiskinan Kota (Urban Poor Consortium-UPC), Wardah Hafiz meminta pemerintah menaikkan standar angka kemiskinan yang ada saat ini.

Menurutnya standar saat ini yang hanya Rp 182.636 per kapita per bulan sangat tidak realistis dan menyesatkan. Ia mengusulkan standar garis kemiskinan dipatok naik dua kali lipat. Namun, ia mengingatkan pemerintah pasti tidak akan melakukan itu karena takut angka kemiskinan menjadi tambah banyak dan pemerintah dinilai gagal.

Wardah menilai upaya pemerintah mengatasi kemiskinan belum serius. Ia mengakui ada upaya mengatasi hal tersebut berupa program kartu masyarakat miskin (Gakin) seperti beras miskin, bantuan langsung tunai, bantuan operasional sekolah, dan sebagainya. "Tetapi, program-program itu hanya bersifat sementara dan belum menyentuh persoalan yang sesungguhnya," katanya.

Sesuai dengan apa yang digelutinya selama ini, Wardah berpendapat, sektor informal perlu mendapat perhatian lebih. Alasannya, masyarakat miskin lebih banyak bergerak atau mencari pekerjaan di sektor informal. Sayang, yang terjadi selama ini, tata kota yang memprioritaskan sektor informal diper- sempit dan digusur. Dengan itu maka tidak ada keberpihakan ke masyarakat miskin.

Terbuka
Sementara itu, Asisten Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat Menko Kesra, Tono Supranoto menyatakan pihaknya terbuka terhadap usul penyempurnaan indikator garis kemiskinan. Menurutnya, terlepas dari suka atau tidak suka terhadap validitas serta akurasi data BPS mengenai kriteria kemiskinan, harus diakui sekarang ini sumber data yang dimiliki pemerintah hanya itu yang ada. Berdasarkan intruksi pemerintah, sumber informasi survei data kemiskinan indikatornya harus menggunakan data BPS. "Karena itu, jika sekarang sejumlah pakar, praktisi, dan masyarakat menilai indikator dan informasi data tersebut harus disempurnakan, mari kita sempurnakan bersama," ujar Tono.

Mengenai perubahan indikator serta variabel garis kemiskinan, Tono mengatakan, "Silakan Anda tanya langsung ke BPS. Mereka yang mengetahui metodologinya. Sekarang ini data paling baik soal kemiskinan nasional hanya dimiliki oleh BPS, dan ini yang jadi pedoman kami."

Ditambahkan, dalam penanggulangan masalah kemiskinan melalui program BLT, BPS telah menetapkan 14 kriteria keluarga miskin, seperti yang telah disosialisasikan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika. "Namun, indikator ini bisa diperkaya oleh kearifan tiap-tiap daerah.

Misalnya, di NTT atau NTB, banyak yang rumahnya tak berlantai ubin, namun punya 200 ekor sapi. Mereka jelas bukan orang miskin. Indikator seperti ini juga perlu dipertimbangkan," tukasnya.

[sumber: suara pembaruan]

Tidak ada komentar:

 
© 2008 free template by kangrohman modification by agungwasono